“Dan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh
hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan
lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Poros sedekah memang tak lain adalah niat yang baik. Sumber kebaikan adalah
Allah maka sewajarnyalah kita mengharapkan kebaikan dari-Nya. Caranya tak lain
dengan berdekat-dekat dengannya dan berusaha menjalankan apa yang Dia
perintahkan dan meninggalkan apa yang Dia larang.
Kisah ini dialami seorang guru madrasah di kota Bekasi. Namanya adalah
Ustadz Ahmad. Laki-laki ini sehari-hari mengabdi di madrasah mengajar
murid-murid Tsanawiyah pelajaran agama. Jarak antara rumahnya dengan tempat ia
mengajar cukup jauh. Tapi terdorong rasa pengabdian ia hampir tak pernah absen
mengajar. Keuntungannya, ia bisa menumpang mobil guru lain yang juga mengajar
di madrasah yang sama.
Pekerjaan Ahmad tak mendatangkan income
yang besar. Malah kalau dihitung rata-rata kebutuhan hidup orang Jakarta
penghasilannya cukup minim. Ia harus pandai-pandai mengatur keuangannya. Tapi
semua ia hadapi dengan rasa syukur. “Rezeki mah
ada yang ngatur,”
begitu katanya suatu waktu.
Yang menjadi beban pikirannya adalah pasangan hidup. Wajar saja, usianya
saat ini sudah menginjak angka 33, usia yang sangat layak untuk beristri.
Masalah rezeki menurutnya tak terlalu sulit. Dapat dikit maka yang dibelanjakan
sedikit, kalau kebetulan dapat agak banyak barulah dia bisa membeli kebutuhan
hidupnya yang lain seperti baju dan sepatu. Tapi kalau masalah jodoh, singguh
menjadi satu misteri bagi dirinya.
Masalah ini cukup menjadi beban pikirannya. Ia sadar Allah memang mengatur
jodoh tiap-tiap hamba-Nya. Tapi ia juga sadar, sebagai makhluk ia harus
berikhtiar karena itulah tuntunan yang diberikan agama. Maka Ahmad cukup gencar
mencari-cari siapa kira-kira yang bisa ia jadikan istri untuk mendampingi
hidupnya.
Salah satu bagian dari ikhtiarnya adalah bersedekah. Ahmad selalu rutin
bersedekah ke masjid setiap shalat Jum’at. Jumlah memang tak terlalu besar,
5-10 ribu rupiah. Kalau kebetulan ia dapat gaji, ia akan meningkatkan
sedekahnya itu menjadi 20 ribu rupiah. Demikianlah memang kemampuan sedekah
yang dimiliki Ahmad mengingat penghasilan yang tak seberapa, hanya beberapa
ratus ribu saja perbulan. Tapi ia selalu konsisten melakukan itu. Terselip doa
agar sedekah itu bisa mendatangkan kebaikan baginya. Tak hanya masalah jodoh
tapi juga masalah yang lainnya.
“Saya hanya berusaha istiqamah saja. Selain itu saya tetap berusaha
mencari-cari jodoh yang cocok,” ujarnya pada Hidayah.
Demikianlah. Hal itu berjalan dalam beberapa bulan. Terselip keyakinan di
hatinya bahwa doanya pastilah didengar Allah pada waktu dan keadaan yang tepat.
Di luar itu ia memperbanyak ibadah. Itu semua membuat hatinya tenang dalam
menjalani hari-harinya.
Tiga Wanita
Dalam waktu yang berjalan, Ahmad berkenalan dengan seorang wanita. Wanita
ini ternyata seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi di daerah Jakarta Timur.
Pertemuannya waktu halal bi halal idul fitri di kampungnya. Wanita tersebut
ternyata masih tetangga dengannya. Ahmad tak mengenalinya karena memang
sebagian besar waktunya tidak ia habiskan di rumah melainkan mengajar dan
sebelumnya menuntut ilmu di pesantren.
Acara halal bi halal itu adalah mengunjungi rumah para ustadz dan sesepuh
desa. Yang mengikutinya adalah kalangan anak-anak muda. Ahmad ditunjuk untuk
menjadi salah satu koordinator karena ia relatif paling senior dibanding
lainnya. Saat itulah ia berkenalan dengan wanita muslimah tersebut.
Sadar bahwa wanita yang ia dekati masih kuliah, Ahmad tak terlalu menaruh
harap. Tapi ia menjalin hubungan baik. Di luar itu, ia juga menjalin komunikasi
dengan 2 orang wanita lainnya. Wanita-wanita ini rata-rata menerimanya dengan
baik, karena Ahmad memang laki-laki yang baik, santun dan tahu etika bergaul
dengan lawan jenis.
Tak ingin lama-lama terjebak dengan hubungan yang tak menentu, Ahmad mulai
ancang-ancang untuk menawari ketiga wanita itu posisi sebagai istrinya. Untuk
menguatkan hatinya ia semakin memperbanyak ibadah dan tetap rutin bersedekah.
Untuk bersedekah ia kali ini menemui salah seorang ustadznya yang menjadi
pengurus sebuah masjid di dekat daerahnya. Ia membicarakan maksud hatinya
kepada sang ustadz. Kali ini ia ingin bersedekah lebih besar dari biasanya
yakni Rp. 50 ribu. Sang ustadz mengabarkan, kebiasaan di masjidnya, kalau ada
orang bersedekah minimal 50 ribu ke atas maka akan diumumkan kepada jamaah dan
didoakan. Macam-macam hajat orang bersedekah itu akan disebut dan dimintakan
kepada Allah agar niat yang bersangkutan terkabul.
“Jujur saya ingin mendapat jodoh ustadz,” ujar Ahmad.
“O ya tidak apa-apa bagus sekali itu,” ujar ustadznya.
Maka Ahmad pun menyerahkan uang 50 ribu itu. Tapi ia berpesan agar namanya
tak usah disebut.
Demikianlah. Ahmad menunaikan sedekahnya. Ia tak tahu apakah sedekahnya
betul-betul diumumkan atau tidak. Ia juga tak tahu apakah niatnya itu masuk
dalam daftar doa yang dibacakan panitia masjid kepada jamaah. Tapi hatinya
sudah ikhlas bersedekah seraya memanjatkan doa kepada-Nya.
Selang beberapa waktu, Ahmad pun menunaikan maksudnya untuk menanyakan
langsung kepada tiga orang wanita yang berteman baik dengannya tawaran untuk
menjadi istrinya. Ia sadar ia memang bukan laki-laki berkecukupan. Yang ada
dihatinya adalah niat ibadah kepada-Nya, menyempurnakan separuh agamanya. Ia
berniat tak ada hal yang akan ia tutup-tutupi perihal dirinya, pekerjaannya,
juga penghasilannya kepada para wanita itu.
Wanita pertama yang ia datangi menerima baik maksud Ahmad. Tapi ia
mengajukan syarat untuk tidak menikah dalam tahun 2010 ini. Ia masih punya
tanggungan membiayai adiknya yang kuliah. Ahmad pun mafhum. Perempuan ini tak
bisa memenuhi niatnya.
Wanita kedua juga demikian. Ia menerima dengan baik tapi merasa belum punya
kesiapan. Ia tak bisa jika harus menikah di tahun ini juga. Ahmad pun kembali
mafhum dan memaklumi penjelasan itu.
Wanita ketiga adalah wanita tetangganya yang pertama kali ia kenal di acara
halal bi halal idul fitri tahun 2009 lalu. Wanita ini juga menerima dengan baik
tapi juga merasa siap kalau ia sudah menyelesaikan studinya. Saat kabar itu
didengar oleh orang tua si wanita, ternyata responnya juga baik. Masalah kuliah
dinilai tak akan menjadi penghalang karena si wanita tetap bisa melanjutkan
kuliahnya walaupun statusnya menikah.
Demikianlah. Dengan dukungan orangtuanya, si wanita menjadi berpikiran lain. Apalagi Ahmad yang ia lihat memang adalah laki-laki baik, mengerti agama dan memiliki kemampuan untuk menjadi imamnya. Jadi sayang juga kalau dilewatkan. Akhrinya ia menyanggupi tawaran itu, bersedia dilamar dan melangsungkan pernikahan tahun ini juga.
Ahmad sangat bersyukur dengan hal itu. Tak henti ia mengucapkan tahmid.
Apalagi, ia tak dibebankan biaya sedikitpun untuk menyelenggarakan
pernikahannya. Semuanya ditanggung oleh keluarga besarnya. Tentu ini adalah
berkah yang tak terkira, karena ia tak perlu susah-susah mencari uang seperti
beberapa orang teman sebayanya yang harus menyiapkan uang sendiri untuk
membiayai pernikahan mereka. Dengan berbaju pengatin warna hijau, Ahmad duduk
di pelaminan bersama istrinya.
Keyakinan Ahmad pun terbukti. Niat yang baik, ikhtiar yang baik, serta
sedekah yang baik, pastilah berbuah sesuatu kebaikan pula. Kini ia mendapat
bukti sendiri bagaimana sedekah memang merupakan sebuah pohon subur yang
berbuah lebat. Setelah menikah ia semakin merutinkan dirinya untuk senantiasa
bersedekah. Sebaik, dan semampu yang ia bisa. [ ]
Sumber : disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar